KUTORA.ID, Parigi Moutong – Angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Parigi Moutong terus menunjukkan peningkatan. Ironisnya, sebagian besar kasus tidak dilaporkan secara hukum karena terhalang stigma, rasa takut, hingga budaya yang membungkam suara korban.
Menjawab persoalan ini, Pemerintah Kabupaten Parigi Moutong melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan KB (DP3AP2KB) menggelar rapat koordinasi lintas sektor pada Rabu 3 September 2025 di Ruang Rapat Utama Kantor Bupati.
Rapat dipimpin Asisten Administrasi Umum, Yusnaeni, dengan menghadirkan unsur Forkopimda, aparat penegak hukum, tokoh agama, organisasi sosial, hingga perwakilan desa. Tujuannya, membangun sistem perlindungan terpadu yang lebih efektif bagi perempuan dan anak.
Plt Kepala DP3AP2KB, Kartikowati, mengungkapkan laporan yang cukup memprihatinkan.
“Kasus kekerasan terus meningkat, namun pelaporan masih sangat rendah. Banyak korban bahkan tidak tahu harus ke mana mencari pertolongan,” ujarnya.
Menurutnya, kekerasan tidak hanya menimbulkan luka fisik, tetapi juga trauma psikis, hilangnya rasa percaya diri, hingga menghambat tumbuh kembang anak. Karena itu, ia menegaskan pentingnya layanan terpadu yang mudah diakses, jalur hukum yang berpihak pada korban, serta pencegahan sejak tingkat keluarga dan komunitas.
Sementara itu, Asisten Administrasi Umum Yusnaeni yang membacakan sambutan Bupati Erwin Burase menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah persoalan serius.
“Ini luka sosial. Tindak pidana perdagangan orang bukan sekadar kriminalitas, tapi pelanggaran HAM yang harus diberantas dengan serius,” tegasnya.
Dalam arahannya, Bupati menekankan tiga hal penting: memperkuat sinergi antarunit teknis, menghadirkan layanan perlindungan yang komprehensif, serta mendorong partisipasi seluruh pihak mulai dari birokrasi, aparat, hingga masyarakat lokal.
“Perempuan dan anak adalah fondasi masyarakat. Jika kita gagal melindungi mereka, kita mempertaruhkan masa depan Parigi Moutong sendiri,” ucap Yusnaeni.
Rapat koordinasi ini menjadi langkah awal membangun kesepahaman, namun tantangan di lapangan tetap besar. Stigma sosial dan budaya diam perlu diatasi dengan kerja nyata, bukan sekadar rencana di atas kertas.
Kehadiran aparat kepolisian, pengadilan agama, kementerian agama, hingga organisasi sosial menunjukkan kesadaran kolektif mulai tumbuh. Konsistensi dan kerja bersama menjadi kunci agar Parigi Moutong dapat benar-benar menjadi daerah yang melindungi perempuan dan anak, serta melahirkan generasi yang kuat dan bermartabat.












