KUTORA.ID, Parigi Moutong – Momen peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia menjadi hari yang penuh makna dan haru bagi enam warga binaan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas III Parigi. Di tengah upacara yang berlangsung khidmat di halaman Lapas Olaya, Minggu (17/08/2025), enam orang resmi menghirup udara bebas usai menerima remisi khusus kemerdekaan.
Kepala Lapas Kelas III Parigi, Fentje Mamirahi, mengungkapkan bahwa dari total 394 warga binaan, sebanyak 240 orang diusulkan mendapat remisi, baik remisi umum maupun dasawarsa. Dari jumlah tersebut, enam orang dinyatakan langsung bebas.
“Hari ini ada enam warga binaan yang bebas. Satu bebas murni, tiga mendapatkan remisi dasawarsa, dan dua lainnya menerima remisi umum,” jelas Fentje.
Remisi diberikan sebagai bentuk penghargaan atas perilaku baik selama menjalani masa hukuman, sesuai regulasi yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Warga binaan harus sudah menjalani minimal enam bulan masa tahanan dan menunjukkan kelakuan baik untuk dapat diusulkan remisi,” tambahnya.
Fentje menekankan bahwa remisi bukan hanya soal pengurangan masa hukuman, tetapi juga bagian dari proses pembinaan dan reintegrasi sosial. Harapannya, para warga binaan yang bebas bisa kembali menjadi bagian dari masyarakat dengan semangat baru.
“Kami berharap mereka benar-benar berubah, tidak mengulangi kesalahan, dan bisa berkontribusi positif di lingkungan masing-masing,” tegasnya.
Namun di balik kabar baik tersebut, Lapas Parigi menghadapi tantangan serius: over kapasitas. Fentje mengungkapkan bahwa kapasitas ideal Lapas seharusnya hanya 150 orang, namun saat ini dihuni oleh 394 warga binaan lebih dari tiga kali lipat daya tampung.
“Kondisi ini sangat memprihatinkan, tapi kami tidak punya wewenang untuk menolak tahanan yang masuk,” jelasnya.
Sebagai petugas pemasyarakatan, pihaknya tetap menerima seluruh titipan dari kepolisian maupun narapidana yang telah memiliki putusan hukum tetap, dengan penuh tanggung jawab.
Meski dalam kondisi penuh sesak, situasi keamanan dan ketertiban di dalam Lapas tetap terjaga. Hal ini, menurut Fentje, tidak lepas dari dukungan dan koordinasi intensif dengan seluruh pemangku kepentingan, termasuk TNI dan Kepolisian.
“Kami rutin menjalin sinergi dengan aparat penegak hukum untuk memastikan Lapas tetap aman dan kondusif,” ucapnya.
Selain persoalan over kapasitas, Fentje juga menyoroti tingginya jumlah warga binaan kasus narkotika. Dari total penghuni, tercatat 102 orang merupakan pelaku kejahatan narkotika, sementara sisanya terlibat berbagai tindak pidana umum.
“Ini menunjukkan betapa seriusnya persoalan narkoba di wilayah ini,” ujarnya.
Fentje menyadari bahwa masalah kelebihan kapasitas bukan hanya terjadi di Parigi, tetapi hampir di seluruh Lapas di Indonesia. Ia menyebut hal ini telah menjadi perhatian pemerintah pusat.
“Isu ini sedang direspons oleh pemerintah melalui arahan Presiden dan langkah-langkah Kementerian Hukum dan HAM,” tutupnya.






