Sosial Budaya

Hukum Asuransi dalam Islam

×

Hukum Asuransi dalam Islam

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi Foto. ASET : Istimewa

MEMILIKI asuransi pada dasarnya memberikan manfaat yang besar bagi seseorang dikemudian hari nanti. Asuransi bisa membantu seseorang yang bisa saja mengalami musibah tiba-tiba. Namun, benarkah memiliki asuransi diharamkan oleh Agama Islam?

Faktanya, menurut fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Islam tidak melarang seseorang memiliki asuransi, asalkan dana yang dikelola sesuai dengan syariat Islam.

Asuransi Menurut Fatwa MUI
Melansir dari laman MUI, ketentuan mengenai asuransi tertuang dalam Fatwa MUI Nomor: 21/DSN-MUI/X/2001. Fatwa tersebut memuat ketentuan umum, akad asuransi, kedudukan, jenis asuransi, termasuk premi dan klaim asuransi.

Dalam menetapkan fatwa pedoman umum asuransi ini, MUI mempertimbangkan beberapa hal, di antaranya perlunya mempersiapkan dana sejak dini dalam rangka menyongsong masa depan dan upaya mengantisipasi kemungkinan terjadinya risiko dalam kehidupan ekonomi yang akan dihadapi, dan asuransi menjadi salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan dana tersebu.

Selain itu, MUI berpandangan bahwa bagi mayoritas umat Islam Indonesia, asuransi merupakan persoalan baru yang masih banyak dipertanyakan terkait status hukumnya ataupun aktivitasnya apakah sejalan dengan prinsip syariah.

Sebagaimana tertuang dalam Fatwa MUI dan telah dirangkum sebagai berikut:

1. Dana Darurat
Dalam menjalani hidup, sudah pasti setiap orang harus memiliki pertimbangan untuk masa depannya. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan resiko atau kehidupan ekonomi yang menurun.

Asuransi dapat dimanfaatkan sebagai dana darurat untuk mempersiapkan hal-hal yang tak terduga. Seperti firman Allah SWT tentang perintah mempersiapkan masa depan:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ”

Hai orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan). Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS al-Hasyr: 18).

2. Unsur Tolong Menolong
Fatwa MUI Nomor: 21/DSN-MUI/X/2001 mengatakan bahwa di dalam asuransi syariah mengandung unsur tolong-menolong antara sejumlah pihak dalam bentuk dana tabarru’ yang sudah sesuai dengan syariah Islam.

Firman Allah SWT tentang perintah untuk saling tolong menolong dalam perbuatan positif:

وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖوَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ.. الْعِقَابِ”

Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS Al Maidah: 2)

3. Unsur Kebaikan
Semua produk asuransi syariah mengandung unsur tabarru’ dan tidak mengandung unsur gharar. Kelak jumlah premi yang dikumpulkan akan digunakan untuk kebaikan dan membantu peserta lain yang terdampak risiko.

Seperti sabda Rasulullah SAW yang hanya melarang segala bentuk transaksi yang mengandung gharar:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَر

Baca Juga:  Ahmad Ali-Abdul Karim Ingin Jadikan Sulteng Pusat Wisata Budaya di Indonesia Timur

Artinya: “Rasulullah SAW melarang jual beli yang mengandung gharar” (HR Muslim, Tirmizi, Nasa’i, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah)

4. Berbagi Risiko dan Keuntungan
Risiko dan keuntungan pada asuransi syariah dibagi rata ke seluruh peserta yang terlibat dalam investasi. Hal ini dirasa adil untuk semua pihak, sebab menurut MUI, asuransi tidak bisa dilakukan hanya dalam rangka mencari keuntungan.

Seperti firman Allah SWT di bawah ini:

إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعًۢا بَصِيرًا

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamiu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah dengan adil…” (QS an-Nisa: 58)

5. Bagian dari Bermuamalah
Manusia tidak akan lepas dari muamalah. Asuransi, menurut MUI juga bagian dari bermuamalah karena melibatkan orang lain dalam hal finansial.

Aturan dari muamalah ini harus disesuaikan dengan syariat Islam. Hadis-hadis Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang beberapa prinsip bermu’amalah, antara lain:

“Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

“Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf)

“Setiap amalan itu hanyalah tergantung niatnya. Dan seseorang akan mendapat ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya”. (HR. Bukhari & Muslim dari Umar bin Khattab).

6. Musyawarah Asuransi
MUI menegaskan bahwa jika terjadi perselisihan karena salah satu pihak tidak menunaikan kewajiban dalam proses asuransi, maka akan diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah. Agar di antara keduanya terjadi musyawarah mufakat.

Pro dan Kontra Asuransi dalam Islam
Mengutip dari buku ‘Islam Perspektif Mu’amalah dan Akhlaq’ oleh Dr. KH. Fuad Thohari, M.A. , dalam Al-Qur’an maupun hadist Rasulullah SAW, tidak ada satu ketentuanpun yang mengatur secara gamblang tentang asuransi. Pembahasan secara fiqih klasik juga tidak dijumpai, sebab transaksi ini baru muncul pada abad ke-13 dan ke-14 di Italia dalam bentuk asuransi perjalanan laut.

Selanjutnya, mengutip dari ‘Asuransi Syariah’ oleh Muhammad Ajib, berikut pandangan para ulama tentang asuransi.

1. Kelompok yang Haram Mutlak
Ada beberapa ulama yang mengharamkan mutlak asuransi. Ulama tersebut yakni, Ibnu Abidin, Sayyid Sabiq, Sheikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Shadiq Abdurrahman alGharyani, Yusuf Qardhawi, Abdullah al-Qalqili, Muhammad Bakhit al-Muth’i, Muslihuddin, Husain Hamid Hisan, Alo Yafie, serta majelis ulama fikih.

Ulama di atas mengharamkan asuransi dikarenakan mengandung gharar (ketidakjelasan) yang sangat nyata yang dilarang Islam dalam semua transaksi. Dalam asuransi premi dan klaim tidak jelas jumlahnya.

Akad asuransi adalah kesepakatan antara pihak-pihak asuransi dan nasabah. Dalam ketentuannya nasabah berjanji akan membayar premi secara berkala sebagai pengganti dana klaim ketika terjadi musibah.

Selain itu akad asuransi juga mengandung riba fadhl dan riba nasiah yang diharamkan dalam Islam. Dana klaim tersebut terkadang jumlahnya sama dengan jumlah premi yang dibayar, terkadang lebih dikit atau lebih banyak. Jika jumlahnya sama, maka itu termasuk riba nasiah dan jika lebih banyak maka termasuk nasiah dan riba fadhl.

Yang terakhir, akad asuransi mengandung bai’ dain bi al-dain yang diharamkan dalam Islam, karena nasabah menyerahkan uang dalam bentuk cicilan (premi) kepada pihak asuransi agar ia mendapatkan uang ketika terjadi musibah. Serta juga termasuk dalam kategori mengambil harta orang lain tanpa imbalan dan mengandung unsur pemaksaan terhadap hal yang tidak disyaratkan.

Baca Juga:  Simak Fakta-Fakta Unik Alkautsar, Surah Terpendek dalam Alquran

2. Kelompok yang Membolehkan
Ada pula beberapa ulama yang memperbolehkn asuransi. mereka adalah Murtadla Muthahhari, Abdul Wahbah Khallaf, Muhammad Yusuf Musa, Abdurrahman Isa, Muhammad Nejatullah Shiddiq, Muhammad Musra, Muhammad al-Bahl, Muhammad Dasuqi, Muhammad Ahmad, Mustafa al-Zarqa.

Di antara alasan golongan yang membolehkan asuransi adalah berdasarkan pada kaidah fikih sebagai berikut:

الْصْلُ فِِ الْشْياءِ الِْبًَحَة

“Asal sesuatu adalah boleh”

Ulama di atas memperbolehkan selama semua jenis transaksi yang bermanfaat dan tidak ada dalil yang melarang. Alasan lain karena asuransi mengandung mashlahah, artinya asuransi sesuai dengan mashlahah atau kebaikan serta tujuan agama seperti tempat penyimpanan uang atau sebagai dana darurat saat terjadinya peristiwa yang tidak diinginkan.

Selanjutnya asuransi bisa dikisaskan dengan wadi’ah bi al-ujrah (penitipan dengan membayar upah). Karena orang yang menerima titipan apabila menerima upah dari jasa titipan tersebut maka ia harus menanggung atau mengganti barang tersebut apabila terjadi kerusakan.

Selain itu asuransi bisa disamakan dengan perjanjian yang mengikat al-wa’ad al-mulzam yaitu ketika seseorang berkata kepada orang yang kedua “juallah barang kamu sekarang, jika kamu mendapat kerugian, maka aku akan ridho kepadamu”. Lalu orang yang kedua tadi menjual barangnya dan mendapat kerugian, maka orang yang telah berjanji tadi harus ridho dengan membayar ganti rugi.

3. Kelompok yang Mengharamkan Sebagian dan Membolehkan Sebagian
Adapula ulama yang memperbolehkan asuransi berbasis sosial dan mengharamkan yang berbasis bisnis. Di antara pendukung pendapat ini ialah Muhammad Abu Zahra, Wahbah al-Zuhaili, Musthafâ al-Zarqâ.

Abu Zahrah berpendapat bahwa asuransi yang bersifat sosial diperbolehkan karena jenis asuransi tersebut mengandung unsur-unsur yang diperbolehkan dalam Islam. Sedangkan asuransi yang bersifat komersial tidak diperbolehkan karena mengandung unsur-unsur yang dilarang dalam Islam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *