WARGA suku Bali, khususnya umat Hindu di kabupaten Parigi Moutong merayakan hari raya Nyepi tahun Saka 1945 yang jatuh pada Rabu 22 Maret 2023 besok, dengan melakukan pawai Ogoh-ogoh.
Terpantau oleh tim kutora.id, Selasa sore 21 Maret 2023, pawai Ogoh-ogoh di Parigi Moutong digelar di sejumlah titik yang menjadi wilayah tempat tinggal warga Bali, diantaranya di Kota Parigi dan sekitarnya, dan Kecamatan Torue hingga Balinggi.
Di kota Parigi, Ogoh-ogoh diarak keliling kota melewati sejumlah jalur yang dipadati penduduk. Pada perayaan Nyepi kali ini, pawai Ogoh-ogoh menarik minat masyarakat Parigi untuk menyaksikan boneka besar yang diarak oleh sejumlah orang tersebut.
Ribuan warga Parigi rela berpanas-panasan di tepi ruas jalan demi melihat langsung Ogoh-ogoh yang diarak mulai dari Pura Mertasari dan kemudian dibawa berkeliling dalam kota Parigi.
Sementara itu, pawai Ogoh-ogoh di Kecamatan Torue dan Balinggi menjadi yang paling istimewa. Hal ini dikarenakan, dua wilayah tersebut merupakan ‘rumah’ untuk masyarakat suku Bali di Parigi Moutong.
Disini, pawai Ogoh-ogoh dipusatkan di Desa Tolai. Mulai pukul 02.00 WITA jalanan sudah ramai dengan pengunjung dari berbagai penjuru Parigi Moutong.
Warga Bali dan umat Hindu serta masyarakat yang hadir terlihat menikmati pemandangan tersebut. Meskipun harus berdesak-desakan untuk sekedar melihat Ogoh-ogoh.
Berikut penjelasan mengenai Ogoh-ogoh yang dirangkum dari berbagai sumber
Dilansir Wikipedia, Ogoh-ogoh adalah karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala. Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan.
Ogoh-ogoh merupakan suatu representasi dari perwujudan roh jahat ataupun sifat jahat yang ditunjukkan dalam bentuk patung atau boneka besar. Ogoh-ogoh terbuat dari bahan-bahan seperti kertas, gabus sintetis, karet, dan lain sejenisnya.
Mengutip tempo.co, Ogoh-ogoh dalam kamus bahasa jawa ataupun sansekerta tidak teridentifikasi, tetapi menurut kamus bahasa Bali, ogoh-ogoh dapat diartikan sebagai sebuah patung yang dibuat dari bahan dasar bambu dan kertas berbentuk Butha Kala atau raksasa. Ogoh-ogoh menjadi suatu tradisi yang dilakukan suatu acara tertentu, misalnya ketika perayaan tahun baru Saka atau Nyepi, upacara bersih desa, dan lain sebagainya.
Terdapat beberapa argumen tentang sejarah lahirnya ogoh-ogoh, ada yang menyatakan bahwa asal usul ogoh-ogoh bermula dari patung lelakut dengan fungsinya untuk mengusir burung pemakan hasil tani di persawahan. Argumen lainnya menyatakan bahwa awalnya ogoh-ogoh merupakan tradisi ngelawang oleh kesenian ndong-nding yang ada di daerah Karangasem dan Gianyar, Bali, sebagaimana terangkum dalam buku Ogoh-Ogoh.
Bagi umat Hindu yang secara finansial mampu atau memiliki dana cukup banyak, disarankan untuk membuat acara pawai ogoh-ogoh sebagai rangkaian Hari Raya Nyepi. Namun, lambat laun, ogoh-ogoh kini tidak lagi sebagai suatu bentuk rangkaian Hari Raya Nyepi, tetapi sebagai media promosi dan pariwisata di Pulau Dewata.
Bukan hanya umat Hindu saja yang berpartisipasi dalam pelaksanaan pawai ogoh-ogoh, melainkan masyarakat Bali secara umum, baik beragama Kristen maupun Islam terlibat dalam membuat sukses tradisi ini. Ogoh-ogoh dibalut menjadi wadah kreativitas masyarakat Bali dalam menciptakan suatu patung raksasa sebagai tradisi turun-temurun.
Pawai ogoh-ogoh menjadi tahapan ketiga yang dilakukan pada sore hari usai upacara tawur kesanga dan sembahyang tilem dalam rangkaian Hari Nyepi oleh umat Hindu. Adapun, upacara tawur kesanga adalah tingkatan upacara yang dilangsungkan satu hari sebelum Nyepi. Sebelum melaksanakan tawur kesanga, umat Hindu lebih dahulu melakukan upacara melasti yang dapat dilakukan sejak tujuh hari sampai minimal dua hari sebelum dilaksanakannya catur brata penyepian (upacara Nyepi).
Merujuk Jurnal Antro, nantinya, ogoh-ogoh dipanggul 12 pemuda dengan berbagai latar belakang agama yang mengenakan kaos seragam pemberian panitia pelaksana tradisi pawai ogoh-ogoh. Pakaian tersebut dilengkapi dengan atribut dari agama Hindu, yaitu menggunakan blangkon (udeng) dan jarik batik. Pemuda yang mengguna seragam ini memiliki arti sebagai tanda pengenal dan terlihat kompak sebagai satu kesatuan kelompok pengangkat ogoh-ogoh.
Kemudian, ogoh-ogoh akan diarak di sepanjang jalan yang sudah ditentukan oleh kelompok masyarakat setempat. Pada setiap perempatan, ogoh-ogoh akan dihentakan ke bawah dan ke atas, lalu diputar sebanyak tiga kali. Tindakan dihentakan dan diputar ini memiliki arti untuk memanggil dan menarik perhatian dari roh-roh jahat yang ada di sekitar wilayah setempat. Setelah itu, barulah langkah terakhir pawai ogoh-ogoh adalah dibakar.
Usai diarak, ketika matahari sudah tenggelam, ogoh-ogoh tersebut dibakar dengan tujuan segala macam bentuk kejelekan dan keburukan yang ada di wilayah setempat dapat lenyap. Dengan begitu, umat Hindu yang akan melaksanakan ibadah Hari Raya Nyepi keesokan harinya dapat nyaman dan tenang.